Oct 7, 2015

should we or should we not change for someone?

     Honestly, having a real-ationship with someone older provide some challenge for me. Mau tidak mau memaksa saya untuk menjadi lebih dewasa. Berpikiran lebih dewasa, bersikap lebih dewasa. And this good thing is new for me. Di hubungan sebelumnya, pasangan saya selalu menerima saya apa adanya, Apa adanya saya bersikap, apa adanya saya berpikir, apa adanya sikap saya ke dia atau orang lain. Waktu itu saya menganggap, "wah dia baik banget menerima saya apa adanya". But it never last. Hanya hitungan bulan. Tau alasan kenapa hubungan itu selesai?. Katanya dia capek menghadapi saya. HEY! You are the one who said would love me for what I am.

It is a good thing for just being you. Menurut saya, memang baik jika seseorang menerima diri kita apa adanya. Tapi disitu letak koma nya. Apakah diri kita -yang sudah diterima apa adanya itu- sudah menjadi the best version of our self?

Selama ini saya selalu memikirkan kepentingan orang lain diatas kepentingan saya. Hobi sekali ber-asumsi sendiri tanpa bertanya. Menciptakan pikiran sendiri untuk suatu situasi. Saya pikir itu sebuah sikap yang baik. Sikap yang ga mau nyusahin orang. Sikap yang cenderung menghindari konflik.Sikap yang "asal semua senang dan tenang". Ternyata disitu saya disebut egois. 

Sikap yang ga mau nyusahin orang itu justru ternyata jadi bikin orang susah. Penuh asumsi ternyata malah bikin keadaan jadi ga clear karena ga ada klarifikasi. Dari obrolan panjang dan ribut ribut kecil yang (cukup) sering terjadi antara saya dan mas, saya mulai banyak belajar. Menjadi sosok yang tidak egois memang super sangat sulit buat saya. Saya masih sering kali tersandung batu batu kecil yan buat saya jatuh lagi. Hampir menyerah pun saya sudah. Tidak jarang saya justru memendam amarah, manut manut demi biar ga ribut, berujung sebel sendiri.

Apa saya berusaha berubah buat dia?

Apa saya berusaha berubah biar ga ribut ribut lagi?

Mas selalu bilang (kadang agak keras), agar saya jangan berubah karena dia. Saya harus berubah karena memang saya ingin menjadi sosok yang lebih baik. Menurutnya, jika kita berubah untuk seseorang, maka ketika kita sedang atau sudah tidak bersama orang itu lagi, poof! Semua perubahan positif itu akan lenyap. Balik ke diri yang awal. Then I said, "aku ingin menjadi sosok yang lebih baik memang karena kamu. Karena kamu yang membimbing. Bukan untuk kamu, tapi untuk aku". Sikap ingin berubah saya memang mungkin tumbuh karena semata mata saya ingin jadi sosok yang lebih baik di mata pasangan saya. Untuk lebih baik. 

Dan jika seseorang yang menjadi alasan yang membuat kita menjadi sosok yang lebih baik, saya rasa tidak ada salahnya.

Apakah diri kita sudah menjadi the best version of our self?